Langsung ke konten utama

Cerita Berseri

 Fermita


Berkali-kali ia teriak tanpa tahu maksudnya. Mencoba mencabik dan membuang apa saja yang ada di dekatnya. Tak ada satu pun orang yang bisa membuatnya tenang. Tatapannya kosong. Tangannya sudah berdarah karena ia memungut pecahan gelas yang baru saja dibantingnya untuk ia lemparkan lagi ke arah orang-orang yang mengerubunginya.

Sebagian orang yang melihatnya menganggap itu pasti sesuatu yang mengerikan, bahkan mungkin kasihan, atau sesuatu hal yang tidak tega untuk jadi bahan tontonan. Namun, bagi Pepetto, itu masalah yang mesti dituntaskan.

Fermita, nama gadis yang teriak-teriak dan membuat kegaduhan kemarin, saat ini sudah tampak tenang. Ia sudah bisa memasukkan makanan dan minuman ke dalam mulutnya. Tatapannya sudah tampak bercahaya. Ia tak banyak bicara, kemungkinan ia tahu apa yang kemarin baru saja terjadi.

"Hmmm, nama saya Fermita..." sahutnya pelan dan membuat perhatian Pepetto mengarah kepadanya.

Pepetto mendekat. Tampak kelegaan di wajahnya. Inilah yang Pepetto tunggu. Menunggu Fermita berbicara tanpa harus ia paksa.

"Oke, Fermita, aku akan mendengarkan..." kata Pepetto mencoba memberi kelegaan. Bocah ini hanya perlu untuk bicara. Dengan begitu, Pepetto akan lebih mudah untuk menemukan titik masalahnya dan mencari solusinya.

"Aku benci dengan diriku. Aku bukanlah seorang anak yang beruntung. Aku tidak sebahagia anak-anak seusiaku, " tampak air matanya keluar membasahi pipinya yang sedikit tirus.

"Lalu..." kata Pepetto lagi. Ia ingin lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku ditinggalkan oleh ibuku di sebuah terminal di kota Bandarlampung. Tanpa ayah. Aku bahkan tidak tahu wajah ayahku dan saat inipun, wajah ibuku sudah mulai aku lupakan. Aku dibuang tanpa belas kasihan.... Apa salahku? Awalnya aku berpikir, apakah aku begitu nakal? Apakah aku begitu menyusahkan mereka? Apakah aku anak pembawa sial? Paling tidak, itulah hal yang bisa ku pikirkan saat ini," kalimat yang terakhir terdengar sangat pelan.

Pepetto bisa tahu ini adalah masalah yang sangat serius. Berbeda dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Ia pernah menghadapi seorang anak yang tidak mau menurut kepada orang tuanya, anak laki-laki yang membenci hal-hal yang berbau perempuan, anak yang suka berbohong, dan terakhir ia berhadapan dengan seorang anak yang suka menonton video porno dan merokok.

"...dan, aku dari mana pun aku tidak tahu. Aku sangat buta dengan kota ini. Aku hanya ikut dengan seorang ibu-ibu yang usianya hampir sama dengan ibuku. Namanya aku tidak tahu. Ia tidak pernah menyebutkannya dan aku pun tak pernah bertanya. Ia pun tak pernah bertanya siapa namaku. Ia selalu memanggilku dengan 'Hey'"

"Biasanya di mana kalian tinggal, Fermita?" tanya Pepetto

"Di pinggir jalan. Kami biasa tidur di bawah jembatan. Aktivitas yang aku lakukan setia hari, duduk di pinggir jalan. Biasanya ibu memberiku sebuah kaleng kecil untuk diletakkan di hadapanku. Ibu menyuruhku menengadahkan tangan dan menunjukkan wajah yang kasihan, agar orang-orang yang lewat merasa kasihan dan meletakkan uang ke dalam kaleng di hadapanku..." Pepetto tampak mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Lalu, mengapa kamu kemarin berteriak dengan sangat histeris dan merusak semua yang ada di dekatmu?" tanya Pepetto hati-hati

"Itu puncaknya! " sahutnya dengan tegas

"Aku sudah bosan dengan kondisi ini. Ditambah sikap beberapa lelaki yang mulai genit kepadaku. Aku tahu mereka sudah mulai mengincarku. Aku masih kecil. Aku tidak mau mereka bersikap macam-macam kepadaku" lanjutnya. Tampak kelegaan di wajahnya. Fermita seperti menemukan orang yang tepat sebagai tempat mencurah kan isi hatinya.

"Baiklah Fermita, untuk sementara waktu, kau tinggal di rumahku dulu. Kita tunggu semuanya berjalan baik, sampai nanti kau temukan orang tua yang bisa merawat dan memperlakukanmu dengan baik." kata Pepetto sambil mengusap rambut Fermita dengan sayang.

"Terima kasih Tuan Pepetto, anda baik sekali... Hmm, baiklah, bolehkah aku makan lagi? Aku sangat lapar. Tenagaku terkuras habis karena kemarin,"tersungging senyuman di wajah Fermeta. Ternyata dia anak yang suka bercanda, pikir Pepetto.

***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumahku "Mewah" alias Mepet Sawah

  Beda Suasana, Beda Rasanya Kami sekeluarga sekarang tinggal di sebuah desa perbatasan Bandarlampung-Lampung Selatan. Desa kami masih di lokasi Bandarlampung. Tepatnya di Way Kandis, Bandarlampung. Membahagiakan sekaligus mempersiapkan segalanya, mental dan material untuk kami siap tinggal di rumah kami. belajar berdikari, mengelola segalanya berdua, dan hidup sebagai sebuah keluarga kecil di suatu masyarakat sosial yang notabene masih keluarga muda. Rumah kami yang "mewah" alias mepet sawah, hahahahhahaha, menjadi rumah di mana kami berteduh dari panas dan hujan, tempat kami berbagi suka dan duka, tempat kami berbagi tawa dan kegembiraan, tempat kami mempersiapkan masa depan, tempat bernaung yang nyaman, insya Allah....  :)) Malam pertama kami tidur di rumah Way Kandis terasa agak aneh, karena ketika di Gunung Sulah lingkungan sosialnya ramai 24 jam. Tiba-tiba harus berhadapan dengan suasana desa dan perkampungan, yang pukul 6 sore suasana sudah sangat sepi. Hari it

"Ibu, aku sudah bisa duduk sendiri...."

 Postingan yang tertunda, nich... Senangnya Bunuk lihat Kenzi kemarin. Saat bersandar gaya putra duyung, tiba-tiba Kenzi bergerak ke depan dan langsung posisi duduk. Bunuk senang dan sengaja membiarkan Kenzi dalam posisi itu untuk beberapa waktu. Rupanya tidak berapa lama, Kenzi maish jatuh, hehehe,,, ga papa ya, sayang, kan sedang belajar.... Kemarin sore, Kenzi ke gereja. Di gereja, sikap Kenzi nice banget.... Saat datang di barisan akhir (karena kalau Bunuk pilih ke depan, takut Kenzi rewel. Kalau di belakang, Bunuk atau Baton kan bisa langsung bawa Kenzi keluar) Kenzi tampak tertawa senang, apalagi di belakang Kenzi ada anak kecil juga seusia Farrel (teman Kenzi di dekat rumah Mbah Kakung Gunung Sulah). Kenzi tunjukkan senyum mautnya, dan sesekali tunjukkan muka jeleknya...qiqiqi. Pulang dari gereja, Kenzi ikut mobil Mbah Aung Koga sama Mbah Uti dan Mamas Tama. Kenzi masih saja tunjukkan tawa bahagianya. Saat di gereja dan di mobil, maunya main terus sama Mamas. Belum sampai di r

Belajar dari Mengamati

Belajar dari Mengamati Aku percaya bahwa setiap anak memiliki perkembangannya sendiri-sendiri. Tidak terkecuali My Kenzi.... Kebahagaiaan yang tak terkira setiap temukan bertambahnya akalnya. Tak disangkal juga, anak belajar dari mengamati. Hal itu yang sering terjadi pada Kenzi. 1. Setiap kali Kenzi menemukan bedaknya, Kenzi selalu menarik tangan orang yang di dekatnya agar membuka tangan dan seperti menumpahkan bedak ke telapak tangan kita. Kenzi akan tampak senang jika kemudian kita melakukan gerakan seperti orang membedaki wajahnya, kemudian ia akan ulangi lagi. Tampaknya Kenzi sering memperhatikan Bunuk dan Baton jika membedaki Kenzi...hmm. 2. Waktu rambut Bunuk agak panjang, Bunuk suka kuncit rambut Bunuk dengan ikat rambut berwarna biru milik Bunuk. Setiap kali Kenzi menemukan ikat rambut Bunuk, Kenzi akan pegang kepala Bunuk dan mulai mengacak-acak rambut seperti akan mengikatnya. Rupanya Kenzi suka memperhatikan Bunuk mengikat rambut...hmm 3. Nah, ini nich yang sed